Tags: cerita motivasi (1200), cerita islami (261), cerita hikmah (104), cerita nasehat (313), cerita teladan (334), kumpulan cerita motivasi (203), kisah islami(247), kisah teladan (331), kisah hikmah (110), kumpulan kisah teladan (263), artikel motivasi (2011), artikel islam (105), artikel kesehatan (211), kumpulan artikel motivasi (300), berita islami (2012), motivasi islam (2010),artikel kesehatan (500)
Dalam buku Pangkal Kekeliruan Golongan Sesat karya Hartono Ahmad Jaiz
digambarkan kondisi intelektual Muslim di Indonesia yang memprihatinkan. Kalau
diruntut, tampaknya Nasaruddin Umar adalah penerus yang membawa bola kesesatan
untuk diterapkan di tengah-tengah Ummat Islam Indonesia secara resmi. Kisah
singkatnya, diruntut dari masa Orde Baru zaman Presiden Soeharto sebagai
berikut.
Untuk memperjelas kondisi situasi saat yang lalu, izinkan saya ulang
tulisan yang saya tuangkan di buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia dalam
bab Pembaruan Nurcholish Madjid dari Tuhan T Besar dan T Kecil_
Cuplikannya sebagai berikut:
Saya prihatin atas pertumbuhan intelektual muslim yang sedang mau mekar
(karena doktor bidang keislaman masih langka) saat itu gejalanya tampak tidak
sehat dari segi keilmuan ataupun agama. Maka saat itu lantas saya menulis di
_Pelita_ menanggapi Nurcholish berjudul _Tuhannya Dr Nurcholish_, 3 April 1985.
Tanggapan dari masyarakat berdatangan dan dimuat di Pelita selama
sebulan, dan Nurcholish pun diwawancarai untuk menanggapi/menjawab. Kemudian
tulisan saya menanggapi hasil wawancara Pelita dengan Nurcholish dijadikan
penutup dalam polemik itu, 6 Mei 1985, saat tengah berlangsungnya MTQ Nasional
di Pontianak Kalimantan Barat. Dan saat itu Pak Munawir Sjadzali Menteri Agama
sudah mulai menggoyang hukum waris Islam dianggapnya tidak adil, di antaranya
disampaikan lewat pidato ulang tahun IIQ (Institut Ilmu Al-Quran) Jakarta oleh
rektornya, Prof. KH. Ibrahim Hosen LML, yang belakangan justru Pak Ibrahim tak
berani menyepakati gagasan Pak Munawir. Dan Pak Ibrahim Hosen waktu itu juga
baru ancang-ancang bertanya, belum menjadi buah pikiran beliau. Namun pikiran
itu langsung dijawab oleh HM. Yunan Nasution ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Jakarta, lewat Majalah _Suara Masjid_, Mei 1985.
Komentar masyarakat terutama di khutbah-khutbah, pengajian, dan forum
semacamnya masih ramai mengenai “Tiada tuhan ( t kecil) selain Tuhan (T besar)”
–yang dilontarkan Nurcholish Madjid– selama setahun lebih, maka saya dan Mas
Ichwan Syam (Redaktur Pelaksana _Pelita_ waktu itu) mewawancarai Nurcholish
Madjid Oktober 1986.
Hasil wawancara itu diantaranya ditanggapi Yusril Ihza Mahendra SH
alumni Universitas Indonesia (saat itu dia belum meraih doktor) lewat _Pelita_.
Lalu Nurcholish Madjid menulis surat pembaca di _Pelita (ditulis tangan,
teksnya), yang intinya Nurcholish Madjid tak mau menanggapi Yusril Ihza
Mahendra karena menurut Nurcholis tidak ketahuan juntrungan ilmiahnya.
Sebenarnya tahun 1986 itu saya tak lagi memperhatikan tema-tema yang
dilontarkan Nurcholish yang tampaknya untuk mempertahankan dan melanjutkan
“terjemahan syahadatnya”, seperti tentang absolutisme, tiran, dan pluralisme.
Jadi, saya tidak menulis tanggapan setelah berwawancara dengan Nurcholish 1986
dan ada polemik lagi itu. Karena, saya “terlibat” dalam menanggapi
lontaran-lontaran Pak Munawir Sjadzali MA, Menteri Agama RI, yang
mengumandangkan Reaktualisasi ajaran Islam, di antaranya menganggap hukum waris
Islam, laki-laki dua kali bagian perempuan itu, sebagai tidak adil. Sampai saya
menurunkan artikel Prof. Ahmad Muhammad Jamal dari Makkah menanggapi Pak
Munawir di Harian _Ash-Sharq Al- Awsath_, saya kutip di _Pelita_, kemudian Pak
Munawir meminta agar tidak diteruskan, padahal masih dua tulisan lagi, baru
satu tulisan sempat keluar di _Pelita_, September 1987. Saya punya wewenang
mengisi satu halaman koran setiap Jum’at waktu itu, maka bisa berkesempatan
menyiarkan artikel Prof. Ahmad Muhammad Jamal dari Ummul Qura Makkah. Tetapi
sayangnya, Pak Munawir menemui saya di suatu pertemuan, agar makalah itu tidak
diteruskan, dengan alasan yang sebenarnya tidak prinsipil. Tetapi permintaan
itu saya turuti, karena beliau adalah pemegang saham di _Pelita_, dan kalau ada
masalah biasanya orang _Pelita_ berkonsultasi padanya.
Puncaknya, September 1987, ada pembahasan khusus 16 cendekiawan muslim
di Wisma Departemen Agama Tugu, Puncak, Jawa Barat tentang Reaktualisasi,
Desakralisasi, dan Pribumisasi Islam diselenggarakan oleh P3M, Purhimpungan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta, pimpinan Masdar F. Mas’udi.
Pembicara utamanya H. Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman
Wahid. Pertemuan dua hari itu dihadiri sekitar 16 cendekiawan muslim yang
hampir semuanya pendukung (menurut pandangan saya) ketiga tokoh yang sedang
menghela gerbong yang mereka sebut sebagai pembaharuan Islam itu. Hanya saja
Soetjipto Wirosardjono (cendekiawan umum bukan ilmu keislaman) dan Abdul Mun’im
Saleh karyawan P3M tampak agak beda dengan para pembaharu itu. Kata Sutjipto,
(seingat saya) pembaruan yang ia lihat, dampaknya kepada masyarakat lebih
banyak lukanya dibanding hasilnya. Sedang Abdul Mun’im Saleh mengutip hadits
tentang keharusan memegang teguh aturan Allah dan Rasul-Nya. (Hartono Ahmad
Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan
14, 2006, halaman 181-182).
Demikian kondisi saat itu.
Meskipun Munawir Sjadzali berkeliling ke IAIN-IAIN di berbagai kota,
pesantren-pesantren, dan bahkan mengumpulkan para cendekiawan serta para rector
IAIN dan sejumlah besar ulama, yang maksudnya untuk memuluskan gagasan dia
dalam hal merubah hukum waris Islam dari 2:1 menjadi 1:1; namun ternyata
upayanya itu kandas. Atas pertolongan Allah Ta’ala, kandas lah sudah. Tidak
mulus dalam hal “Munawir berjuang” memasukkan perubahan hukum waris Islam itu
ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang dia gagas dan dia ujudkan dengan
mengumpulkan sejumlah ahli se-Indonesia itu.
Bahkan penentang utamanya adalah Prof KH Ibrahim Hosen ketua Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sekaligus Rektor IIQ (Institut Ilmu
Al-Qur’an) di Jakarta. Padahal, semula Prof KH Ibrahim Hosen itu justru
pertama-tama yang berpidato mempertanyakan ayat 11 Surat An-Nisaa’ dalam acara
ulang tahun perguruan tinggi yang dia pimpin yakni IIQ. Bulan berikutnya, saya
berkesempatan bersama-sama dengan KH Ibrahim Hosen itu ke Pontianak 1985 naik
pesawat Hercules, rombongan dewan hakim dan wartawan serta para pejabat
Departemen Agama untuk menghadiri MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) di Pontianak
Kalimantan Barat 1985. Di kapal terbang, Pak Ibrahim Hosen saya jumpai. Saya
tanya, kenapa Bapak berani pidato mempertanyakan ayat Al-Qur’an yang sudah
jelas? Pertanyaan saya itu saya sertai majalah di tangan saya dan saya
tunjukkan kepadanya, bahwa HM Yunan Nasution menulis di Majalah Suara Masjid
terbitan Dewan Dakwah pimpinan M Natsir sekarang ini (Mei 1985) yang isinya
mengecam orang-orang yang mempertanyakan ayat 11 Surat An-Nisaa’ itu. Dengan gelagapan,
Pak Ibrahim Hosen –yang saat itu mungkin menahan kencing, karena saya cegat
ketika dia mau ke wc, jadi sama-sama berdiri di kapal terbang–, beliau
menjawab: “Saya hanya disuruh oleh Pak Menteri Agama”.
Wallahu a’lam, saya tidak tahu apa yang dialami oleh Pak Ibrahim Hosen.
Setelah ramai di masyarakat, Ummat Islam membincangkan tentang nyelenehnya tiga
orang itu (Munawir, Nurcholish, dan Gus Dur), tahu-tahu saya dipanggil oleh Pak
Ibrahim Hosen.
Betapa kagetnya, ketika saya ditunjuki surat Pak Ibrahim Hosen, selaku
seorang rector IIQ dan juga ketua Komisi Fatwa MUI, melayangkan surat kepada
Presiden Soeharto tentang gagasan Menteri Agama H Munawir Sjadzali yang ingin
mengubah hukum waris islam dari 2:1 antara lelaki dan peremuan menjadi 1:1 itu sama
sekali bertentangan dengan Islam.
Karena Prof Ibrahim Hosen menegaskan kekeliruan pendapat Munawir
Sjadzali itu dengan argument-argumen yang jelas, maka beliau saya wawancarai
dan dimuat di Harian Pelita secara panjang lebar. Dan alhamdulillah para ulama
dan ahli hukum Islam yang menggarap untuk terwujudnya kompilasi hukum Islam
tidak memuluskan gagasan Menteri Agama Munawir Sjadzali, sekalipun dana dan
penyelenggaraan bahkan adanya karsa (kemauan) diadakannya kompilasi hukum Islam
itu dari Munawit Sjadzali selaku Menteri Agama.
Menjelang berakhirnya Munawir Sjadzali menduduki jabatan Menteri Agama,
kakinya sudah dingin, menurut Ridwan Saidi politikus dari Betawi Jakarta.
Maksudnya, sudah tidak ada pengaruhnya apa-apa. “Lihat saja nanti, begitu dia
turun dari jabatannya sebagai Menteri Agama, maka orang tidak akan
menoleh-nolehnya lagi,” kata Ridwan sambil tertawa.
Rupanya tidak jauh dari perkataan Ridwan Saidi itu. Pak Munawir
Sjadzali sudah tidak kocap carito (bicara-bicara) lagi di masyarakat. Bahkan
kemudian sakit struck berlama-lama, dan sampai kemudian meninggal pun
hampir-hampir orang tidak mendengarnya.
Hukum Waris Islam Digoncang Lagi
Kini di tahun 2009 tiba-tiba cerita lama yang telah gagal tentang mau
mengubah hukum waris Islam itu diusung lagi lewat jalur yang lebih resmi lagi.
Yakni Rancangan Undang Undang Peradilan Agama Tentang Perkawinan, dan sudah
disetujui oleh Presiden SBY. Nantinya akan dibicarakan di DPR.
Nah, ini berbalikan. Kalau dulu Presiden Soeharto justru jadi tumpuan
untuk membela hukum waris Islam, hingga Ketua Komisi Fatwa MUI kirim surat,
mengadukan ulah menteri agamanya ke Presiden, lha sekarang justru presidennya
telah menyetujui untuk dibahas tentang hukum waris Islam bukan hanya 2:1 antara
lelaki dan perempuan. Ini barangkali mau menjajal lagi kekuatan Allah Ta’ala
yang telah memberikan hukum dengan firman-firman-Nya.
Untuk lebih jelasnya, silakan baca berita lampiran berikut ini.
Kawin Kontrak Diancam Penjara Tiga Bulan dan Rp 5 Juta
Selasa, 03 Februari 2009 | 16:24 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama
Nasaruddin Umar mengatakan, Presiden telah menyetujui pembahasan Rancangan
Undang Undang Peradilan Agama Tentang Perkawinan. “Diharapkan masa sidang 2009
bisa dibahas di parlemen,” kata dia, Selasa (3/2).
Menurut Nasaruddin, rancangan ini mengatur sejumlah perkara yang belum
ada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Diantaranya hukum
perkawinan bawah tangan atau nikah siri, perkawinan kontrak, hukum waris untuk
ahli kaum perempuan.
Tentang perkawinan bawah tangan, Nasaruddin menjelaskan, siapapun yang
menikahkan atau menikah tanpa dicatatkan dikenai sanksi pidana 3 bulan penjara
dan denda Rp 5 juta. Penghulu yang menikahkan perkawinan ini mendapat sanksi
pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai
tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.
Adapun perkawinan kontrak, kata dia, apapun alasannya tidak diterima
secara hukum. Perkawinan kontrak itu sama dengan nikah di bawah tangan.
“Pernikahan ini bukannya membawa kebaikan, tapi menambah masalah baru.
Anak-anak hasil hubungan yang dilahirkan tanpa dokumen, sama dengan
menghilangkan hak anak,” katanya.
Pengaturan warisan dalam perkawinan Islam, ia menjelaskan, juga tidak
dibatasi 2:1 untuk ahli waris laki-laki. Putusan hakim dapat berbeda,
tergantung dari situasi dan kondisi warisan dan ahli waris. “Sudah ada satu
putusan di Maros, Sulawesi Selatan, yang memberikan warisan 1:1 untuk ahli
waris laki-laki dan perempuan. Putusan itu juga sudah banyak diadopsi
hakim-hakim di daerah lain dalam menentukan keputusan atas kasus yang kurang
lebih sama,” kata dia. REH ATEMALEM SUSANTI (tempointeraktif.com)
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/02/03/brk,20090203-158230,id.html
Aneka kesesatan, penyimpangan, pembelokan dari jalan yang benar, dan
bahkan ditelusuri sampai pangkal kekeliruannya, telah jelas nyata. Kini
tinggallah berhadapan dengan kondisi yang terbalik. Keadaan di mana pendusta
justru dipercaya sedang yang jujur justru didustakan, lalu pengkhianat malah
dipercaya. Itulah yang diperingatkan dalam Hadits:
Hadits Anas: Sesungguhnya di depan Dajjal ada tahun-tahun banyak tipuan
–di mana saat itu– orang jujur didustakan, pembohong dibenarkan, orang yang
amanah dianggap khianat, orang yang khianat dianggap amanah, dan di sana
berbicaralah Ruwaibidhoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, apa itu
Ruwaibidhoh? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Orang yang bodoh
(tetapi) berbicara mengenai urusan umum. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad,
Abu Ya’la, dan Al-Bazzar, sanadnya jayyid/ bagus. Dan juga riwayat Ibnu Majah
dari Abu Hurairah. Lihat Kitab Fathul Bari, juz 13 halaman 84 ).
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/penyebar-kesesatan-ditugasi-bantu-selesaikan-masalah-agama-di-indonesia.htm
BERBAGI DENGAN SATU KLIK!!!
"Pertumbuhan Intelektual Muslim Memprihatinkan"Silahkan Share/bagikan kepada sahabat Anda Insya Allah bermanfaat.
"ARTIKEL MOTIVASI LAINNYA 0 Responses to "Pertumbuhan Intelektual Muslim Memprihatinkan"
Posting Komentar