Tags: cerita motivasi (1200), cerita islami (261), cerita hikmah (104), cerita nasehat (313), cerita teladan (334), kumpulan cerita motivasi (203), kisah islami(247), kisah teladan (331), kisah hikmah (110), kumpulan kisah teladan (263), artikel motivasi (2011), artikel islam (105), artikel kesehatan (211), kumpulan artikel motivasi (300), berita islami (2012), motivasi islam (2010),artikel kesehatan (500)
Islam adalah
agama yang mudah dan longgar, bukan agama yang sulit dan sempit. Demikianlah
penegasan Rashid Ridla sebagaimana tertuang dalam kitabnya Yusrul Islam wa
Ushul at-Tasyri’ al-‘Am (Kemudahan Islam dan Dasar-Dasar Legislasi Umum Hukum
Islam). Kitab yang terbit pada 1928 tersebut merupakan sanggahan dari pengarang
terhadap dua kubu sekaligus: ulama konservatif yang bersemangat menerapkan
syari’ah secara membabibuta dan kaum muslim sekular yang secara gelondongan mau
meniru Barat dan mengabaikan syariah sama sekali. Tapi seperti apa kemudahan
Islam itu?
Dalam karya
ini, Ridla menyatakan bahwa syari’ah pada prinsipinya mencakup dua domain:
ibadah (ritual yang terangkum dalam rukun Islam yang lima) dan mu’amalah
(wilayah duniawiah seperti ekonomi, sosial, hukum dan politik).
Hal-hal yang
menyangkut ibadah, tandas Ridla, membutuhkan wahyu Tuhan untuk mengaturnya,
baik dalam hal prinsip umum maupun detilnya. Adapun dalam soal mu’amalah, wahyu
Tuhan hanya mengatur prinsip-prinsip umumnya, sedangkan rincian penerapannya
diserahkan pada akal manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.
Prinsip umum ini terangkum dalam hadits Nabi la dlarara wa la dlirara fil Islam
(dalam Islam, tidak boleh mencelakai diri sendiri dan tidak boleh mencelakakan
orang lain).
Para ulama
metodologi hukum Islam (ushul fiqh) pada umumnya mengacu pada hadits di atas
ketika mereka berbicara tentang konsep mashlahah (kepentingan dan kebaikan
publik) sebagai dasar bagi legislasi hukum Islam dalam wilayah mu’amalah. Hanya
saja mereka berbeda pendapat mengenai seberapa jauh mashlahah secara mandiri
bisa menjadi sumber legislasi hukum Islam, dan apa pula batasannya.
Al-‘Amidi,
misalnya, menyatakan bahwa tujuan hukum Islam sesungguhnya identik dengan
mashlahah itu sendiri, sehingga tidak perlu ada dasar hukum lain di luar
syari’ah. Sementara itu, Al-Syathibi berpendapat bahwa mashlahah bisa menjadi
dasar legislasi syari’ah sejauh ia didukung oleh nash (Al-Qur;an dan hadits).
Dengan kata lain, baginya, mashlahah pada dirinya bukanlah sumber yang otonom
bagi tasyri’. Tapi menurut Najmuddin Al-Thufi, seorang ulama bermazhab Hanbali,
legislasi Islam mestinya justru berporos pada kepentingan/kebaikan publik.
Artinya, kalau ada aturan Islam yang terbukti bertentangan dengan mashlahah,
aturan tersebut mestinya batal dengan sendirinya. Ini bukan soal mengabaikan
nash dari wahyu Tuhan demi berpedoman pada akal manusia (ingat, Al-Thufi
bermazhab Hanbali yang tekstualis!), melainkan meninggalkan satu nash demi
mengamalkan nash lain yang lebih mendasar, yakni hadits la dlarara wa la
dlirara fil Islam yang saya sebut di atas.
Rashid Ridla
dalam Yusrul Islam tampaknya condong pada pendapat Al-Thufi yang menempatkan
kepentingan publik sebagai satu-satunya fundasi bagi tasyri’ dalam soal-soal
pengaturan masyarakat. Bahkan ia bergerak lebih jauh dengan menempatkan umat
sebagai agen yang aktif menentukan kriteria mashlahah tersebut. Caranya adalah
melalui pembentukan kumpulan ahli Islam, sains dan ilmu-ilmu kemasyarakatan
(ahlul halli wal ‘aqdi) yang didukung oleh penguasa yang kompeten (ulil amri)
dalam sistem pemerintahan representatif (syura).
Pendapat
Ridla ini tampaknya merupakan solusi yang ia tawarkan untuk menjawab kecemasan
kubu ulama yang menolak doktrin mashlahah dengan alasan bahwa hal itu bisa
dipelintir oleh penguasa yang tiran untuk kepentingan politiknya sendiri, atau
disalahgunakan oleh sementara kaum muslim untuk beragama secara semau gue,
sesuai dengan selera mereka sendiri. Di mata Ridla, kecemasan semacam itu mungkin
saja beralasan, tapi bukannya tak bisa diatasi. Juga tidak dengan sendirinya
membatalkan status mashlahah sebagai dasar bagi legislasi hukum Islam.
Bisa
dikatakan bahwa Yusrul Islam mencerminkan masih kuatnya jejak-jejak salafisme
progresif yang dirintis Muhammad Abduh mewarnai pemikiran hukum Rashid Ridla.
Itulah gerakan yang menyerukan agar kaum muslim kembali ke teladan Nabi dan
generasi Muslim awal yang saleh untuk “menjemput” modernitasnya sendiri. Patut
dicatat bahwa berkebalikan dari salafisme ala Wahhabi yang memusuhi
rasionalitas, Islam salafi di mata Abduh adalah kembali ke Islam murni, yakni
Islam yang menjunjung tinggi rasionalitas dan belum terkontaminasi taqlid
(sikap membebek begitu saja terhadap pendapat ulama terdahulu).
Pengaruh Abduh
ini setidaknya tercermin dari pandangan Ridla yang menempatkan umat sebagai
agen yang aktif menentukan kepentingan umumnya sendiri sebagai dasar bagi
proses tasyri’. Menurut Profesor Wael Hallaq, ini menunjukkan bahwa di luar
wilayah ibadah, Ridla memberi tempat yang cukup sentral kepada peran natural
law dan hukum manusia dalam upayanya menerjemahkan makna la dlarara wa la
dlirara dalam konteks modern.
Jangan-jangan,
sikap semacam inilah yang justru layak disebut sebagai ber-Islam secara secara
kaffah yang cerdas, karena sikap ini sama sekali tidak mengosongkan wilayah
mu’amalah dari prinsip umum yang digariskan Allah, sambil tetap peka terhadap
kemestian laju progresif sejarah. Itulah mengapa menurut Ridla dan Abduh, Islam
itu tidak sulit.
*Wakil Ketua
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
Source: islamlib.com
BERBAGI DENGAN SATU KLIK!!!
"Islam Itu Tidak Sulit"Silahkan Share/bagikan kepada sahabat Anda Insya Allah bermanfaat.
"ARTIKEL MOTIVASI LAINNYA